Facebook
RSS

Friendship

-
Indra Aris Hermawan





Didalam kehidupan, kita tentunya tidak saja hanya berhubungan dengan orang tua maupun keluarga terdekat. Ada sekelompok orang yang berpikir bahwa dengan menjalankan prinsip individual mereka bisa dengan bebas menegkspresikan jati diri mereka, namun cobalah kita kembali merenung sejenak. Apakah dengan ber-individual, kita bisa saling bertukar pikiran dalam beberapa hal baik pekerjaan maupun keseharian?? Tentu tidak, ada saat nya di mana kita bisa menjadi sesosok individual dan ada saatnya kita harus bersosialisasi dengan orang lain.
Berikut ini saya akan sedikit bercerita mengenai pengalaman pengalaman saya tentang awal mula saya memutuskan untuk menjadi seorang yang menerapkan prinsip individualisme hingga akhirnya menentukan jalan hidup menjadi seseorang yang harus bisa bersosialisasi dengan orang lain.

Saya dibesarkan oleh Keluarga harmonis dimana saya sangat mencintai mereka. Karena rasa cinta dan rasa takut kehilangan yang begitu besar, saya sering kali berpikir bahwa keluarga merupakan sekelompok orang yang dimana sangat mengetahui dan mengenal saya secara lahiriah dan bathiniah. Sehingga dengan memiliki mereka, saya bisa tetap menjalani hidup selayaknya orang banyak. Hari-hari terlewati begitupun dengan kegiatan sekolah dan berbagai kegiatan ekstrakulikuler. Dalam melewati hari-hari saya disekolah, saya selalu menyendiri karena merasa bahwa waktu saya akan habis terbuang dengan kegiatan yang kurang bermanfaat seperti bermain bersama teman-teman. Dengan sikap saya yang seperti itu, saya sering dihujani dengan berjuta pertanyaan dari teman-teman bahkan guru-guru disekolah. Mulai dari mengapa saya selalu berdiam diri dan memilih menyendiri hingga pertanyaan yang benar-benar bersifat pribadi.

Seiring berjalannya waktu dan usia yang semakin bertambah, saya pun memasuki masa masa Sekolah Menengah Atas/Umum (SMA/SMU) selayaknya orang-orang di luar sana. Masa-masa ini merupakan masa tersulit saya sebagai seorang individualis. Semua yang berhubungan dengan kegiatan sekolah, pastilah saya lakukan sendiri tanpa adanya teman. Apasih arti teman yang sebenarnya??
Pada suatu sore, disaat saya sedang mengikuti ekskul  dimana sekolah saya memang agak sedikit jauh dari rumah. Ekskul ini berlangsung hingga pukul 9 malam, berhubung ekskul yang saya ikuti adalah marchingband dan disaat yang bersamaan akan dirayakan HUT RI maka kami didoktrin untuk terus berlatih hingga selarut itu. Pada saat hendak pulang, saya mencoba menelpon salah satu keluarga saya untuk menjemput namun tak ada satupun yang memberikan respon positif. Dengan kata lain, saya diharuskan untuk pulang sendiri. Berhubung jam 9 malam sudah tidak ada lagi angkot menuju rumah, sekejap saya pun bingung tak tau harus bagaimana. Tiba-tiba ada sebuah mobil yang menghampiri, dan memberikan tumpangan. Ternyata dia adalah teman sekelas saya yang tadinya saya berpikir bahwa anak ini tentunya tidak ingin berteman bahkan tidak ingin menyapa saya. Kenyataan berkata lain, sepanjang jalan menuju rumah saya pun hanya bisa diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun sampai akhirnya teman saya itu mengajak ngobrol.
Yang ada dipikiran saya saat itu hanyalah, ternyata semua yang saya pikirkan dan saya terapkan selama ini adalah salah. Saya juga butuh teman. Tentu saja saya memiliki alasan mengapa saya menjadi individualis. Mengapa?? Saya cukup takut mendekati orang lain karena yang ada di benak saya hanyalah “APAKAH MEREKA MAU MENJADI TEMAN SAYA?”. Kini sayapun sadar, bagaimana mereka mau menjadi teman saya jika saya tidak mencoba menjadi diri sendiri dan bergabung atau ikut bersosialisai bersama mereka.
Semenjak saat itu saya pun mempunyai beberapa orang sahabat dekat di masa SMA saya, dimana kami saling menghargai, saling mengisi, saling menolong hingga berprinsip bahwa “laluilah hari kita dengan rasa kebersamaan tanpa ada yang ditutupi” maksud dari kalimat itu adalah, kami mencoba melalui hari-hari kami dengan kebersamaan dan jika terjadi kesalah pahaman haruslah saling jujur agar tidak ada rasa saling dendam.
Prinsip ini pun saya terapkan hingga sekarang saya menjejaki bangku perkuliahan. Saya mencoba berbaur, saya mencoba memilih dan memilah teman yang menurut saya cocok dan benar untuk saya sebut “sahabat”. Saat ini saya telah menemukannya, semoga selama beberapa tahun kedepan tetaplah menjadi seorang sahabat dimana kita bisa saling menerima kekurangan dan kelebihan kita masing-masing serta bisa menjadi panutan  yang baik bagi orang lain disekitar kita.

Pesan saya dari artikel ini adalah :
“Jangan takut untuk menjadi diri sendiri, janganlah menganggap bahwa kamu bisa menjadi seseorang yang bisa menyelesaikan semua hal seorang diri. Tetaplah berpikir positif pada mereka yang kalian sebut “sahabat’ karena bagaimanapun keadaanmu, seberapa hancurnya kalian, mereka akan ada dan menghiburmu. Bersikaplah jujur dan rela terluka demi mereka, secara otomatis mereka akan sadar tentang kebaikan dan ketulusanmu dalam memandang dan menghargai mereka. Dengan demikian mereka pastinya akan melakukan hal yang sama untukmu.”

3 Responses so far.

  1. Anabella says:
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
  2. Anabella says:

    sama banget dengan gw
    Gw juga tipe orang yang individual
    Gw terlalu takut dan pemalu untuk bisa memulai suatu pembicaraan. takut kejadian waktu gw kecil terulang lagi, menjadi suatu trauma yang ga bs gw lupakan sampai sekarang. Dikhianati oleh sahabat sendiri itu sangat sakit rasanya. Tapi saya akhirnya skrg bisa mendapatkan temen yang terbaik yang saya punya. Bisa lebih membuka diri dan bisa jadi gw apa adanya. Dan yang seperti lo harapkan semoga dia bisa menjadi sahabat yang baik untuk selamanya dimana kita bisa saling menerima kekurangan dan kelebihan kita masing-masing. Sahabat kita itu bisa juga mengingatkan dan memarahi kita disaat kita melakukan hal yang salah. Ada disaat kita sedih dan membutuhkannya

  3. semoga bisa jadi orang lebih baik dan menjadi sahabat yg baik pula untuk shbt kita. amin

Leave a Reply